Breaking News

Tiga Pesona Sang Dewa Alam Dari Jawa Barat


Sanghyangpoek

Asri dan segar. Itulah kesan semua peserta setiap kali sampai di tepas, di teras gua Sanghyangpoek di Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat, setelah melewati huma, kebun yang tak berpayungkan pepohonan. Air pegunungan yang mengalir jernih, gemericik berloncatan di sela batu, mengundang untuk membasuh tangan, mencuci muka, dan menceburkan diri ke kejernihan air yang sudah langka di kota.
Ketika semua limbah maha kotor itu dimasukkan dengan sengaja oleh manusia ke Ci Tarum, dan akhirnya masuk ke Danau Saguling, maka aliran Ci Tarum lama antara Bendungan Saguling hingga 20 meter di hulu Sanghyangtikoro, airnya menjadi sangat bersih, karena hanya air pegunungan yang keluar dari mataairlah yang terkumpul menjadi aliran kecil dalam lembah sungai Ci Tarum lama yang lebar.     
Air yang suci dan menyucikan itu mengelus bebatuan di teras gua. Bebatuan yang besar dan keras itu, menjadi licin dengan lekuk air yang tercetak abadi, sebagai bukti, bahwa air yang terlihat halus itu, mampu mengelus bebatuan hingga membentuk alur-alur yang seirama dengan denyut alam.
Kanopi di tepas gua yang megah, semakin membuat betah untuk duduk-duduk di atas bebatuan, dikeheningan alam, yang rasanya terpisah jauh dari keramaian, dari karut-marutnya kehidupan politik kota besar. Padahal jaraknya hanya 1,2 km saja dari jalan beraspal licin antara Rajamandala dan Danau Saguling.  
Pada mulanya, gua kapur ini merupakan sungai bawah tanah, ketika aliran Ci Tarum belum dibendung Danau Saguling. Batu kapur terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3) yang larut dalam air yang menghasilkan gas kabon dioksida (CO2) yang berasal dari atmosfer. Air sungai mengasah dan melarutkan batu kapur dari sisi sungai, menghasilkan bentukan yang oleh penggemar arung jeram disebut undercut, kemudian membentuk gua, menjadi sungai bawah tanah, yang berpadu dengan pelarutan dari atas, maka lengkapkah proses pembentukan gua menjadi sungai bawah tanah, karena air sungai mengalir ke dalam gua ini.
Kini, Sanghyangpoek sudah tidak menjadi sungai bawah tanah lagi, sehingga dapat dengan mudah menelusuri lorong-lorongnya. Namun, di beberapa titik, tetes-tetes air yang melarutkan batu kapur itu masih dapat ditemui. Ini artinya, proses pelarutan batu kapur masih berlangsung, sehingga proses pembentukkan stalaktit, bentukan yang menggantung di langit-langit gua, dan stalagmit bentukan yang ada di dasar gua, ataupun bentukan di dindingnya masih terus berlangsung.
Dalam lorong-lorongnya yang tidak terlalu panjang, menyajikan pesona alam yang luar biasa. Hati-hati, sebab pesona itu berada di dinding gua. Jangan sampai, bentukan yang luar biasa indahnya itu hancur dalam hitungan detik, sementara proses pembentukannya memakan waktu ribuan tahun.
            1,3 kilometer ke arah hilir dari Sanghyangpoek, terdapat Sangyangtikoro. Di tempat ini kita dapat membedakan air Ci Tarum yang bening di Sanghyangpoek dan air maha kotor di Sangyangtikoro.

Sanghyangtikoro

Di dalam leher itu terdapat dua organ yang berbeda sesuai fungsinya, yaitu tikoro (kerongkongan), tempat masuknya makanan dan minuman, an genggerong (tenggorokan), sebagai saluran hawa untuk bernafas.
Oleh karena itu, sungai bawah tanah di sekitar Powerhouse Saguling, tempat aliran Ci Tarum sebagian airnya masuk ke gua itu dinamai Sanghyangtikoro, sebagai analog dengan tikoro tempat masuknya air dan makanan ke dalam perut sang Dewa alam.
Tempat ini lama dipercaya sebagai tempat bobolnya Danau Bandung purba, sehingga ada kepercayaan, bila Sanghyangtikoro tersumbat, maka Bandung akan tergenang kembali menjadi danau. Kepercayaan inilah yang menyebabkan komandan CPM di Bandung mengusulkan kepada Nasution saat merencanakan Bandung lautan api agar mengebom Sanghyangtikoro. 
Bandung lautan api berkobar, untung Sanghyangtikoro tidak jadi dibom. Kalau saja terjadi dibom, dan batu karangnya menyumbat sungai bawah tanah ini, Bandung tetap tidak akan tergenang. Sebab Sanghyangtikoro berada pada ketinggian antara 300-400 meter di atas permukaan laut (m.dpl), sementara Bandung berada pada ketinggian 650 m.dpl. Selain itu, Ci Tarum di Sanghyangtikoro bercabang dua, satu cabang seperti sungai biasa, dan satu cabang lagi masuk ke Sanghyangtikoro. Jadi, kalau Sanghyangtikoro tersumbat, maka air akan mengalir ke cabang yang satunya lagi. Dan, bila sungai yang itu pun dibendung, Bandung tetap tidak akan tergenang, sebab Pasir Sanghyangtikoro tingginya hanya 392 m.dpl., sehingga tidak mungkin Dataran Tinggi Bandung tergenang menjadi danau, sebab, air akan melimpas di punggung Pasir Sanghyangtikoro.
            Walau bukan menjadi tempat bobolnya Danau Bandung purba, Sanghyangtikoro sangat baik dijadikan contoh morfologi sungai dan morfologi kars.

Sanghyangkendit
           
            1,3 km dari Sanghyangtikoro ke arah hilir, terdapat lagi gua atau sungai bawah tanah yang disebut Sanghyangkendit. Tempat ini dipercaya masyarakat sebagai bibijilan, tempat keluarnya air yang masuk ke Sanghyangtikoro.
            Di sini terdapat reruntuhan bongkah batu kapur, cukup menahan aliran Ci Tarum membentuk leuwi, lubuk di mulut gua. Aliran Ci Tarum agak tenang, sehingga memudahkan merapat ke pintu masuk Sanghyangkendit untuk sekedar melepas lelah.
            Melihat tiga pesona sang Dewa Alam, dapat diakhiri di Sanghyangkendit, dengan menyantap nasi liwet Cisameng yang lezat dan pisang Saguling yang matang di pohon.
Tapi, sesungguhnya petualangan belum berakhir di sini. Dari Sanghyangkendit, petualangan di Ci Tarum dapat dilanjutkan dengan berarung jeram selama 2,5 jam hingga jembatan lama Rajamandala. Jangan khawatir bagi yang tidak dapat berenang, sebab penyedia jasa arung jeram sudah melatih para “sopir” untuk mengutamakan keselamatan para penumpangnya.
Mau menyapa pesona Sang Dewa Alam, lalu memacu adrenalin di geloranya jeram Ci Tarum? Pasti ketagihan, deh!***

No comments